19 Sep 2010

Etos Pendongkrak Gairah Kerja

Hidup hanya menyediakan dua pilihan: mencintai pekerjaan atau mengeluh setiap hari. Jika Anda tak bisa mencintai pekerjaan, maka Anda hanya akan memperoleh "5-ng": ngeluh, ngedumel, ngegosip, ngomel, dan ngeyel.

Punya masalah dengan semangat kerja.....? Jangan gundah gulana, Anda tak sendirian. Banyak orang lain yang punya problem serupa. Namun, bukan tidak ada solusinya! Hampir semua orang pernah mengalami gairah kerjanya melorot. "Itu wajar," kata Jansen Sinamo, ahli pengembangan sumber daya manusia dari Institut Darma Mahardika, Jakarta. Meski lumrah, "impotensi" kerja harus diobati.

Cara terbaik untuk mengatasinya, dengan langsung membenahi pangkal masalahnya, yaitu motivasi kerja. Itulah akar yang membentuk etos kerja. Secara sistematis, Jansen memetakan motivasi kerja dalam konsep yang ia sebut sebagai "Delapan Etos Kerja Profesional".

Memahat yang tak terlihat

Etos pertama: kerja adalah rahmat.
Apa pun pekerjaan kita, entah pengusaha, pegawai kantor, sampai buruh kasar sekalipun, adalah rahmat dari Tuhan. Anugerah itu kita terima tanpa syarat, seperti halnya menghirup oksigen dan udara tanpa biaya sepeser pun.

Bakat dan kecerdasan yang memungkinkan kita bekerja adalah anugerah.
Dengan bekerja, setiap tanggal muda kita menerima gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan bekerja kita punya banyak teman dan kenalan, punya kesempatan untuk menambah ilmu dan wawasan, dan masih banyak lagi. Semua itu anugerah yang patut disyukuri. Sungguh kelewatan jika kita merespons semua nikmat itu dengan bekerja ogah-ogahan.

Etos kedua: kerja adalah amanah.
Apa pun pekerjaan kita, pramuniaga, pegawai negeri, atau anggota dewan, semua adalah amanah. Pramuniaga mendapatkan amanah dari pemilik toko. Pegawai negeri menerima amanah dari negara. Anggota dewan menerima amanah dari rakyat. Etos ini membuat kita bisa bekerja sepenuh hati dan menjauhi tindakan tercela, misalnya korupsi dalam berbagai bentuknya.

Etos ketiga: kerja adalah panggilan.
Apa pun profesi kita, perawat, guru, penulis, semua adalah darma. Seorang perawat memanggul darma untuk membantu orang sakit. Seorang guru memikul darma untuk menyebarkan ilmu kepada para muridnya. Seorang penulis menyandang darma untuk menyebarkan informasi tentang kebenaran kepada masyarakat. Jika pekerjaan atau profesi disadari sebagai panggilan, kita bisa berucap pada diri sendiri, "I'm doing my best!" Dengan begitu kita tidak akan merasa puas jika hasil karya kita kurang baik mutunya.

Etos keempat: kerja adalah aktualisasi.
Apa pun pekerjaan kita, entah dokter, akuntan, ahli hukum, semuanya bentuk aktualisasi diri. Meski kadang membuat kita lelah, bekerja tetap merupakan cara terbaik untuk mengembangkan potensi diri dan membuat kita merasa "ada". Bagaimanapun sibuk bekerja jauh lebih menyenangkan daripada duduk melamun tanpa pekerjaan. Secara alami, aktualisasi diri itu bagian dari kebutuhan psikososial manusia.

Etos kelima: kerja itu ibadah.
Tak peduli apa pun agama atau kepercayaan kita, semua pekerjaan yang halal merupakan ibadah. Kesadaran ini pada gilirannya akan membuat kita bisa bekerja secara ikhlas, bukan demi mencari uang semata.

Jansen mengutip sebuah kisah zaman Yunani kuno:
Seorang pemahat tiang menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mengukir sebuah puncak tiang yang tinggi. Saking tingginya, ukiran itu tak dapat dilihat langsung oleh orang yang berdiri di samping tiang. Orang-orang pun bertanya, buat apa bersusah payah membuat ukiran indah di tempat yang tak terlihat? Ia menjawab, "Manusia memang tak bisa menikmatinya. Tapi Tuhan bisa melihatnya." Motivasi kerjanya telah berubah menjadi motivasi transendental.

Warisan tak ternilai
Etos keenam: kerja adalah seni.
Apa pun pekerjaan kita, bahkan seorang peneliti pun, semua adalah seni. Kesadaran ini akan membuat kita bekerja dengan enjoy seperti halnya melakukan hobi. Edward V Appleton, seorang fisikawan peraih nobel mengaku, rahasia keberhasilannya meraih penghargaan sains paling bergengsi itu adalah karena dia bisa menikmati pekerjaannya.

"Antusiasmelah yang membuat saya mampu bekerja berbulan-bulan di laboratorium yang sepi," katanya. Jadi, sekali lagi, semua kerja adalah seni. Bahkan ilmuwan seserius Einstein pun menyebut rumus- rumus fisika yang njelimet itu dengan kata sifat, beautiful.

Etos ketujuh: kerja adalah kehormatan.
Seremeh apa pun pekerjaan kita, itu adalah sebuah kehormatan. Jika bisa menjaga kehormatan dengan baik, maka kehormatan lain yang lebih besar akan datang kepada kita.

Pramoedya Ananta Toer misalnya. Sastrawan Indonesia kawakan ini tetap bekerja (menulis), meski ia dikucilkan di Pulau Buru yang serba terbatas. Baginya, menulis merupakan sebuah kehormatan. Hasilnya, kita sudah mafhum. Semua novelnya menjadi karya sastra kelas dunia.

Etos kedelapan: kerja adalah pelayanan.
Apa pun pekerjaan kita, pedagang, polisi, bahkan penjaga mercusuar, semuanya bisa dimaknai sebagai pengabdian kepada sesama. Semangat kerja serupa bisa kita jumpai pada Mak Eroh yang membelah bukit untuk mengalirkan air ke sawah-sawah di desanya di Tasikmalaya, Jawa Barat. Pun pada diri alm. Munir, aktivis Kontras yang giat membela kepentingan orang-orang yang teraniaya.

"Manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan dilengkapi keinginan untuk berbuat baik," kata Jansen. Ia menyebut dengan istilah rahmatan lii alamin (rahmat bagi sesama).

Pilih cinta atau kecewa
Menurut Jansen, kedelapan etos kerja yang ia gagas itu bersumber pada kecerdasan emosional spiritual. Ia menjamin, semua konsep etos itu bisa diterapkan di semua pekerjaan.

"Asal pekerjaan yang halal. Umumnya, orang bekerja itu `kan hanya untuk nyari gaji. Padahal pekerjaan itu punya banyak sisi," katanya.

Kerja bukan hanya untuk mencari makan, tetapi juga mencari makna.
Rata-rata kita menghabiskan waktu 30-40 tahun untuk bekerja. Setelah itu pensiun, lalu manula, dan pulang ke haribaan Tuhan. "Manusia itu makhluk pencari makna. Kita harus berpikir, untuk apa menghabiskan waktu 40 tahun bekerja. Itu `kan waktu yang sangat lama," tambahnya.

Ada dua aturan sederhana supaya kita bisa antusias pada pekerjaan.
Pertama, mencari pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakat. Dengan begitu, bekerja akan terasa sebagai kegiatan yang menyenangkan.

Jika aturan pertama tidak bisa kita dapatkan, gunakan aturan kedua: kita harus belajar mencintai pekerjaan. Kadang kita belum bisa mencintai pekerjaan karena belum mendalaminya dengan benar. "Kita harus belajar mencintai yang kita punyai dengan segala kekurangannya," kata sarjana Fisika ITB ini.

Jansen mengutip filsuf Jerman, Johann Wolfgang von Goethe, "It's not doing the thing we like, but liking the thing we have to do that makes life happy."

"Dalam hidup, kadang kita memang harus melakukan banyak hal yang tidak kita sukai. Tapi kadang kita tak punya pilihan lain. Tidak mungkin kita mau enaknya saja. Kalau suka makan ikan, kita harus mau ketemu duri."

Dalam dunia kerja, duri bisa tampil dalam berbagai macam bentuk. Gaji yang tak sesuai, teman kerja yang tak menyenangkan, atasan yang kurang berempati, dan masih banyak lagi. Namun, justru dari sini kita akan ditempa untuk menjadi lebih berdaya tahan.

Bukan gila kerja
Dalam urusan etos kerja, bangsa Indonesia sejak dulu dikenal memiliki etos kerja yang kurang baik. Pada jaman kolonial, orang Belanda sampai menyebut kita dengan sebutan yang mengejek: in lander pemalas. Ini berbeda, misalnya, etos Samurai yang dimiliki bangsa Jepang. Mereka terkenal sebagai bangsa pekerja keras dan ulet.

Namun, Jansen menegaskan, pekerja keras sama sekali berbeda dengan workaholic. Pekerja keras bisa membatasi diri, dan tahu kapan saatnya menyediakan waktu untuk urusan di luar kerja. Sementara seorang workaholic tidak. Dalam pandangan Jansen, kondisi kerja yang menyenangkan adalah kerja bareng semua pihak. Bukan hanya bawahan, tapi juga bersama dengan atasan.

Jansen mencontohkan, atasan yang mengkritik melulu jika bawahan berbuat keliru, namun tak pernah memujinya jika ia menunjukkan prestasi. Secara manusiawi hal itu akan menyebabkan bawahan kehilangan semangat bekerja. Buat apa bekerja keras, toh hasil kerjanya tak akan dihargai. Ingat, pada dasarnya manusia menyukai reward.

Konosuke Matsushita, pendiri perusahaan Matsushita Electric Industrial (MET) punya teladan yang bagus. Pada resesi dunia tahun 1929-an, pertumbuhan ekonomi Jepang anjlok tajam. Banyak perusahaan mem-PHK karyawan. MEI pun terpaksa memangkas produksi hingga separuhnya. Namun, Matsushita menjamin tak satupun karyawan yang bakal terkena PHK. Sebagai gantinya, ia mengajak semua karyawan bekerja keras. Seluruh karyawan bagian produksi dilatih untuk menjual. Hasilnya luar biasa. Mereka bisa menjadi tenaga marketing andal, yang membuat Matsushita menjadi salah satu perusahaan terkuat di Jepang.

Bagaimana dengan Anda...? (Sumber tulisan   : KCM, 6/09/05).

Baiklah teman-teman, semoga tulisan ini mampu mendongkrak gairah kerja kita, yang memang tanpa kita sadari kadangkala naik turun dalam proses mencapai keberhasilan dalam kehidupan kita ini.

Sukses Untuk Kita yang Mau Berusaha,

Noflinda Eliza, SKM